Jurusan Pendidikan Bahasa Arab
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Kependidikan
Institut Agama Islam Negeri Ponorogo
Order processing time 24h
Jurusan Pendidikan Bahasa Arab
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Kependidikan
IAIN Ponorogo
Pererat Kolaborasi Internasional: Prodi PBA FTIK IAIN Ponorogo ikuti Visiting Lecture di Madrasah Uthmaniah (ABIM) Malaysia
Desember 24, 2024
Implementasi Filosofi Fi’il Madli dan Mudlari’ dalam Kehidupan
Mei 31, 2025
Artikel Opini

Pemanfaatan Psikologi Pendidikan dan Kecerdasan Buatan (AI) untuk Melawan Lazy mind di Lingkungan Pembelajaran

Amelia Habibah

Pemanfaatan Psikologi Pendidikan dan Kecerdasan Buatan (AI) untuk Melawan Lazy mind di Lingkungan Pembelajaran
Admin
Mei 31, 2025

Amelia Habibah

NIM:

Fenomena lazy mind atau malas berpikir menjadi perhatian dalam dunia pendidikan saat ini. Lazy mind, yang ditandai dengan kekurangan motivasi dan kreativitas, dapat menghambat perkembangan kognitif, terutama pada anak-anak. Psikologi pendidikan menyoroti pentingnya motivasi dalam belajar dan mencari strategi untuk mengatasi tantangan ini. Sementara itu, kehadiran teknologi kecerdasan buatan (AI) menawarkan alternatif dalam pembelajaran. Teks opini ini akan mengeksplorasi hubungan antara lazy mind, psikologi pendidikan, dan kehadiran AI dalam pembelajaran untuk menemukan pendekatan yang efektif dalam meningkatkan kualitas pembelajaran.

Lazy mind atau malas berpikir adalah kondisi mental dimana seseorang merasa tidak memiliki motivasi, kreativitas, atau rasa ingin tahu mengenai hal baru. Hal ini tentu dapat menghambat perkembangan kognitif pada anak. Salah satu ciri lazy mind pada anak adalah ketika orang tua meminta pendapatnya, anak hanya akan menjawab “terserah”. Respon tersebut bukan menunjukkan bahwa anak patuh terhadap orang tua, melainkan sebagai salah satu indikator bahwa anak mengalami lazy mind. Jika kebiasaan ini dibiarkan, maka ketika dewasa akan membentuk sebuah karakter yang tidak mau repot dan selalu lari dari masalah yang dihadapinya. Hal ini disebabkan karena sejak dini tidak terbiasa berpikir kreatif yang seharusnya dapat dilatih dengan berpendapat atau berdiskusi bersama orang tua. Salah satu faktor penyebab tumbuhnya lazy mind pada anak adalah kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak. Komunikasi dua arah ini apabila dilakukan secara konsisten maka akan mempererat hubungan emosional antara orang tua dan anak, memberikan rasa aman, nyaman, dan percaya diri pada anak. Selain itu, juga akan melatih kemampuan anak dalam menyampaikan pendapat, menyelesaikan masalah, dan mengambil keputusan. Kurangnya intensitas komunikasi antara orang tua dan anak dapat menyebabkan anak merasa tidak dipedulikan, tidak dihargai, dan tidak dicintai oleh orang tuanya. Hal ini dapat memicu gangguan emosional seperti stres, depresi, atau bunuh diri. Di sisi lain, anak tidak memiliki kemampuan komunikasi yang baik sehingga mengalami kesulitan dalam bersosialisasi dengan orang lain, ini mengakibatkan terhambatnya perkembangan sosial anak.

Psikologi pendidikan menyorot pentingnya motivasi dalam proses belajar. Motivasi yang tinggi dapat mendorong individu untuk mengatasi lazy mind dan meningkatkan kinerja akademis. Ditinjau dari sudut pandang faktor eksternal, motivasi belajar peserta didik adalah faktor yang berpengaruh terhadap prestasi belajar. Peserta didik yang memiliki motivasi belajar akan muncul dalam dirinya dorongan untuk selalu belajar dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi sehingga dapat meningkatkan prestasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Hamalik (2004:61) bahwa “Motivasi menentukan tingkat berhasil atau gagalnya perbuatan belajar murid. Belajar tanpa adanya motivasi kiranya sulit untuk berhasil”. Melalui motivasi belajar, anak dapat terhindar dari lazy mind. Motivasi belajar peserta didik juga dipengaruhi oleh guru, khususnya mengenai kompetensi guru. Guru kompeten mampu menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan, efektif, dan mampu mengelola kelasnya sehingga terciptalah kualitas pembelajaran yang optimal. Kompetensi guru juga berpengaruh terhadap prestasi peserta didik. Guru yang tidak menguasai bahan ajar dan tidak bisa menumbuhkan antusiasme peserta didiknya maka akan berpengaruh negatif terhadap hasil belajar peserta didik. Metode pembelajaran yang efektif untuk mengatasi lazy mind mencakup pendekatan yang aktif, kolaboratif, dan berbasis masalah. Pendekatan aktif berarti kegiatan pembelajaran didominasi oleh peserta didik, bukan guru. Pendekatan kolaboratif berarti mengolaborasikan pengalaman peserta didik dengan materi yang dipelajari dengan tujuan untuk membantu pemahaman peserta didik terhadap materi. Hal ini juga dapat menumbuhkan atensi peserta didik terhadap materi pembelajaran. Sedangkan pendekatan berbasis masalah berarti menggunakan masalah yang ada di dunia nyata sebagai konteks dasar untuk mempelajari materi pokok. Pendekatan ini membantu peserta didik mengembangkan keterampilan dalam mengidentifikasi dan menganalisis data atau informasi. Hal ini akan meningkatkan pengalaman belajar peserta didik dan membantu mereka menjadi lebih aktif dan terlibat dalam proses pembelajaran.

Kehadiran teknologi baru AI menjadi salah satu alternatif dalam memudahkan proses pembelajaran. Akselerasi pendidikan akan mungkin terjadi apabila teknologi ini digunakan dengan bijak dan terkendali (ppg.kemdikbud.go.id). Integrasi kecerdasan buatan telah menjadi aspek utama dalam perkembangan teknologi pendidikan. AI dapat mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan peserta didik serta dapat menyesuaikan tingkat kesulitan dan materi berdasarkan kemampuan peserta didik. Hal ini membantu pendidik dalam memberikan tindakan yang tepat terhadap peserta didik termasuk dalam mengatasi tantangan lazy mind. AI memberikan kemudahan pada guru untuk membuat media pembelajaran seperti video atau PPT yang menarik secara mudah dan cepat. Hal ini mampu menumbuhkan semangat belajar sehingga meminimalisir lazy mind pada peserta didik. AI juga dapat digunakan untuk mengoreksi tugas-tugas peserta didik secara otomatis sehingga guru dapat lebih fokus dalam memberikan umpan balik dan membantu dalam meningkatkan kemajuan peserta didik. Meskipun AI menawarkan potensi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran, kehadirannya juga menimbulkan tantangan baru. Misalnya, risiko ketergantungan pada teknologi dan penurunan kemampuan kritis peserta didik jika terlalu bergantung pada AI. Selain itu, AI berpotensi mengancam perkembangan emosional anak. Algoritma AI dapat menyajikan konten-konten berbahaya atau yang tidak sesuai dengan usia anak, yang berpengaruh negatif terhadap proses belajarnya. Dipandang dari sudut sosial-emosional anak, penggunaan AI secara tidak bijak dapat mengisolasi anak dari interaksi sosial dan menjadikan anak sulit memahami emosi orang lain. Anak cenderung kurang memiliki empati dan lemah dalam kemampuan berkomunikasi. Oleh karena itu, peran orang tua dan guru sangat penting dalam mengawasi atau membimbing anak terhadap interaksinya dengan AI. Orang tua dapat mendorong anak untuk melakukan aktivitas sosial-emosional, seperti mengikutsertakan anak dalam olahraga tim atau meluangkan waktu untuk berbincang santai bersama keluarga. Guru dapat menyeimbangkan penggunaan AI dan perannya sebagai pendidik dan pengajar dalam proses pembelajaran. Selain itu, guru diharapkan mampu membentuk karakter peserta didik yang bermoral. Hal ini tentu menjadi salah satu bukti bahwa peran guru dan orang tua tidak bisa tergantikan oleh teknologi AI karena AI adalah alat bantu, bukan pengganti.

Dapat disimpulkan bahwa lazy mind atau malas berpikir dapat menghambat perkembangan kognitif pada anak. Psikologi pendidikan menyoroti pentingnya motivasi dalam proses belajar, yang dapat membantu mengatasi lazy mind. Pendekatan yang aktif, kolaboratif, dan berbasis masalah dapat menjadi metode pembelajaran yang efektif untuk mengatasi lazy mind. Penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) dapat menjadi alternatif dalam memudahkan proses pembelajaran, namun perlu diimbangi dengan pengawasan dan bimbingan orang tua dan guru. Peran orang tua dan guru sangat penting dalam mengelola penggunaan teknologi AI, sambil tetap mempertahankan peran mereka dalam membentuk karakter moral peserta didik.